Musik Ngak Ngik Ngok dimata Bung Karno
Pada
masa remaja di tahun 1960-an Anak muda
tidak bisa mengerti tindakan Bung Karno yang melarang lagu-lagu dari Barat yang
disebutnya sebagai musik ngak-ngik-ngok. Waktu itu lagu-lagu dari kelompok The
Beatles sedang melanda dunia. Dan para remaja ketika itu pun
sangat menyukainya karena irama lagu itu bisa menghanyutkan jiwa remaja.
Tahun
1960an demam The Beatles mewabah di seluruh dunia. Indonesia juga tak luput.
Tapi buat Soekarno, The
Beatles dianggap hanya meninabobokan pemuda Indonesia lewat syair-syair lagunya
yang dianggap hanya berisi cinta dan gaya hidup hakikatanya.
Maka ia bertindak keras. Jika ada artis ketahuan memainkan musik ngak ngik ngok akan diminta turun panggung. Piringan hitam lagu-lagu Barat sulit masuk Indonesia. Saat itu orang-orang komunis juga ikut membakar piringan hitam The Beatles.
Maka ia bertindak keras. Jika ada artis ketahuan memainkan musik ngak ngik ngok akan diminta turun panggung. Piringan hitam lagu-lagu Barat sulit masuk Indonesia. Saat itu orang-orang komunis juga ikut membakar piringan hitam The Beatles.
Ketahuan
memainkan lagu Beatles, diancam dengan pasal subversif. Maka banyak pemain band
lokal yang sempat ditahan. Koes bersaudara salah satunya. Yang menjadi latar
belakang ini adalah hal politis, saat itu Indonesia sedang berseteru
dengan Inggris yang membentuk negara federasi Malaysia. Tentu saja Soekarno
benci pada The Beatles yang berasal dari Liverpol, Inggris
Tindakan Bung Karno tidak hanya sampai di sini. Musik
ngak-ngik-ngok buatan dalam negeri pun dilarang beredar. Lagu ‘Oh, Kasihku’
ciptaan Koes Bersaudara (kemudian berubah nama menjadi Koes Plus)
”Dan
engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau yang tentunya
antiimperialisme ekonomi dan menentang imperialisme ekonomi, engkau yang
menentang imperialisme politik...
”Kenapa di antara engkau banyak yang tidak menentang
imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock
n’roll—rock n’roll-an, dansa-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan a la
ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain sebagainya lagi....”
Itu kutipan pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1959 yang
bertajuk ”Penemuan Kembali Revolusi Kita.” Pidato berapi-api yang dibacakan
sejak pukul 08.10 di Istana Merdeka, Jakarta, itu ditafsirkan dan dieksekusi di
lapangan sebagai pelarangan jenis musik yang dianggap ngak-ngik-ngok. Apa itu
ngak-ngik-ngok, kurang jelas batasannya. Yang pasti Koes Bersaudara diperiksa
Kejaksaan Tinggi Jakarta gara-gara membawakan lagu Beatles ”I Saw Her Standing
There” pada Juni 1965 dalam penampilan mereka di Jati Petamburan.
Mengapa
Bung Karno begitu? Memangnya anak muda tidak boleh bersenang-senang? Alasan
Bung Karno seperti yang amat sering dipidatokan, musik ngak-ngik-ngok yang
biasa diiringi dansa-dansa akan merusak mental para pemuda.
Menurut bahasa Bung Karno, musik produk imperialis/kapitalis itu akan
melemahkan semangat juang para pemuda dan akan menghancurkan nilai kepribadian
bangsa. Bung Karno yang memang jadi pejuang bangsa sejak usia muda agaknya
punya alasan kuat untuk mengatakan keyakinan itu.
Bung
Karno juga pasti tahu pada 1960-an itu kaum muda di Cina, Jepang, atau Korea
masih menahan diri untuk hidup berhura-hura karena mereka sadar harus berjuang
dan bekerja keras demi kemajuan masyarakat dan bangsanya. Maka para pemuda
Indonsia pun oleh Bung karno dilarang berngak-ngik-ngok dan diminta untuk lebih
giat bekerja.
Sayang, Bung Karno jatuh pada 1966,
dan suasana sangat cepat berubah. Terjadi euforia desukarnoisasi di semua
bidang. Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya bermunculan pemancar radio yang
dikelola oleh anak-anak muda. Lalu membanjirlah lagu-lagu Barat yang sebelumnya
dilarang. Koran-koran picisan terbit dengan mudah dan bebas. Maka bukan hanya
lagu, semua produk budaya pop dan gaya hidup yang dulu ditentang Bung Karno
membanjir.
Memang ada sedikit perlawanan dari
anak-anak muda yang masih menyisakan idealisme kerakyatan, seperti yang
terlihat dalam peristiwa Malari tahun 1974. Tapi gerakan perlawanan ini ditumpas
habis oleh kekuatan besar yang sedang tumbuh, orde baru. Tanggal 6 Juni kemarin
adalah hari lahir Bung Karno (1901). Kita jadi teringat kembali tindakan Bung Karno
lebih dari 40 tahun lalu yang melarang pemuda Indonesia ber-ngak-ngik-ngok.
Dulu saya bingung, namun sekarang saya bisa lebih mengerti.
Ternyata
musik jenis ini bisa menjadi pembuka bagi masuknya gaya hidup sangat pragmatis,
cair dan hedonis, dan buntutnya adalah konsumtif. Itulah yang ingin dicegah
Bung Karno. Dengan ngak-ngik-ngok yang mendayu-dayu para pemuda mudah terlena
dan mudah tercerabut dari nilai-nilai idealisme. Apalagi bila musik itu
disertai gaya pergaulan longgar serta dibumbui alkohol dan narkoba. Maka
hasilnya bisa dilihat dengan jelas di sekeliling kita sekarang ini.
Rata-rata pemuda masa kini ingin
segera bisa hidup enak tapi dengan cara yang cepat dan mudah. Instan. Santai.
Amat konsumtif. (Hormat untuk minoritas anak muda yang mau belajar atau bekerja
keras dengan cara berjualan mi ayam, jadi buruh pabrik, PKL, TKI, dsb). Namun
selebihnya seperti hanya menuruti jebakan kaum modal yang dulu sengaja
menghadirkan musik ngak-ngik-ngok yang tidak disukai Bung Karno.
Berbeda permasalahan di tahun 60an pemuda
indonesia yang ketika itu di hantam dengan gelombang musik barat dengan The
Beatels’nya namun bung karno bisa membendungnya dengan membuat istilah musik
ngak ngik ngok untuk membentengi mental pemuda ketika itu, tetapi di massa
2012ini pemuda di manjakan dengan kebebasan akibatnya semua produk asing dapat
secara bebas di nikmati dan di konsumsi termasuk dalam hal musik, musik yang
ber’lebel musik K-Pop dengan ujung tombak Gril band dan Boy band’nya termasuk
juga dengan sinetron korea,nya dapat
menghancur leburkan mentalitas dan karakter pemuda indonesia yang lebih suka
beridentitas dan mengidentikan dirinya sebagai orang korea.
Gaya
hidup pragmatis, santai, dan amat konsumtif para pemuda sekarang bisa bisa
dibuktikan dari berbagai hal. Misalnya, konsumsi rokok yang luar biasa besarnya
sehingga bangsa ini menjadi bangsa perokok terbesar di dunia. Di kampus-kampus,
kantin dan kafe lebih ramai daripada perpustakaan. Kebutuhan pulsa jauh
mengalahkan kebutuhan akan buku.
Sebagian besar pemuda Indonesia
punya prestasi rendah di bidang akademik. Juga di bidang olehraga. Sebaliknya,
hasrat untuk mengonsumsi semua barang yang ditawarkan terutama melalui media TV
sangatlah besar. Melalui semua media yang tersedia kaum modal telah berhasil
mengubah masyarakat, terutama kaum muda, bukan hanya jadi manusia pragmatis dan
konsumtif melainkan juga hidup dalam dunia sensasi. Kaum modal memang tahu,
masyarakat yang sudah masuk perangkap sensasi sangat mudah menjadi pembeli
barang yang mereka buat, baik barang itu benar-benar dibutuhkan atau hanya
diinginkan.(*Dedi Setyawan 1014430027)
0 komentar:
Posting Komentar