Pages

Minggu, 06 Januari 2013

* Opini:


 Musik Ngak Ngik Ngok dimata Bung Karno

    Pada masa remaja di tahun 1960-an Anak muda tidak bisa mengerti tindakan Bung Karno yang melarang lagu-lagu dari Barat yang disebutnya sebagai musik ngak-ngik-ngok. Waktu itu lagu-lagu dari kelompok The Beatles  sedang melanda dunia. Dan para remaja ketika itu pun sangat menyukainya karena irama lagu itu bisa menghanyutkan jiwa remaja.

    Tahun 1960an demam The Beatles mewabah di seluruh dunia. Indonesia juga tak luput. Tapi buat Soekarno, The Beatles dianggap hanya meninabobokan pemuda Indonesia lewat syair-syair lagunya yang dianggap hanya berisi cinta dan gaya hidup hakikatanya.
Maka ia bertindak keras. Jika ada artis ketahuan memainkan musik ngak ngik ngok akan diminta turun panggung. Piringan hitam lagu-lagu Barat sulit masuk Indonesia. Saat itu orang-orang komunis juga ikut membakar piringan hitam The Beatles.

    Ketahuan memainkan lagu Beatles, diancam dengan pasal subversif. Maka banyak pemain band lokal yang sempat ditahan. Koes bersaudara salah satunya. Yang menjadi latar belakang ini  adalah hal politis, saat itu Indonesia sedang berseteru dengan Inggris yang membentuk negara federasi Malaysia. Tentu saja Soekarno benci pada The Beatles yang berasal dari Liverpol, Inggris

    Tindakan Bung Karno tidak hanya sampai di sini. Musik ngak-ngik-ngok buatan dalam negeri pun dilarang beredar. Lagu ‘Oh, Kasihku’ ciptaan Koes Bersaudara (kemudian berubah nama menjadi Koes Plus)
”Dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau yang tentunya antiimperialisme ekonomi dan menentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik...
”Kenapa di antara engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock n’roll—rock n’roll-an, dansa-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan a la ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain sebagainya lagi....”
    Itu kutipan pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1959 yang bertajuk ”Penemuan Kembali Revolusi Kita.” Pidato berapi-api yang dibacakan sejak pukul 08.10 di Istana Merdeka, Jakarta, itu ditafsirkan dan dieksekusi di lapangan sebagai pelarangan jenis musik yang dianggap ngak-ngik-ngok. Apa itu ngak-ngik-ngok, kurang jelas batasannya. Yang pasti Koes Bersaudara diperiksa Kejaksaan Tinggi Jakarta gara-gara membawakan lagu Beatles ”I Saw Her Standing There” pada Juni 1965 dalam penampilan mereka di Jati Petamburan.
    Mengapa Bung Karno begitu? Memangnya anak muda tidak boleh bersenang-senang? Alasan Bung Karno seperti yang amat sering dipidatokan, musik ngak-ngik-ngok yang biasa diiringi dansa-dansa akan merusak mental para pemuda. Menurut bahasa Bung Karno, musik produk imperialis/kapitalis itu akan melemahkan semangat juang para pemuda dan akan menghancurkan nilai kepribadian bangsa. Bung Karno yang memang jadi pejuang bangsa sejak usia muda agaknya punya alasan kuat untuk mengatakan keyakinan itu.

    Bung Karno juga pasti tahu pada 1960-an itu kaum muda di Cina, Jepang, atau Korea masih menahan diri untuk hidup berhura-hura karena mereka sadar harus berjuang dan bekerja keras demi kemajuan masyarakat dan bangsanya. Maka para pemuda Indonsia pun oleh Bung karno dilarang berngak-ngik-ngok dan diminta untuk lebih giat bekerja.
Sayang, Bung Karno jatuh pada 1966, dan suasana sangat cepat berubah. Terjadi euforia desukarnoisasi di semua bidang. Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya bermunculan pemancar radio yang dikelola oleh anak-anak muda. Lalu membanjirlah lagu-lagu Barat yang sebelumnya dilarang. Koran-koran picisan terbit dengan mudah dan bebas. Maka bukan hanya lagu, semua produk budaya pop dan gaya hidup yang dulu ditentang Bung Karno membanjir.
Memang ada sedikit perlawanan dari anak-anak muda yang masih menyisakan idealisme kerakyatan, seperti yang terlihat dalam peristiwa Malari tahun 1974. Tapi gerakan perlawanan ini ditumpas habis oleh kekuatan besar yang sedang tumbuh, orde baru. Tanggal 6 Juni kemarin adalah hari lahir Bung Karno (1901). Kita  jadi teringat kembali tindakan Bung Karno lebih dari 40 tahun lalu yang melarang pemuda Indonesia ber-ngak-ngik-ngok. Dulu saya bingung, namun sekarang saya bisa lebih mengerti.

    Ternyata musik jenis ini bisa menjadi pembuka bagi masuknya gaya hidup sangat pragmatis, cair dan hedonis, dan buntutnya adalah konsumtif. Itulah yang ingin dicegah Bung Karno. Dengan ngak-ngik-ngok yang mendayu-dayu para pemuda mudah terlena dan mudah tercerabut dari nilai-nilai idealisme. Apalagi bila musik itu disertai gaya pergaulan longgar serta dibumbui alkohol dan narkoba. Maka hasilnya bisa dilihat dengan jelas di sekeliling kita sekarang ini.
Rata-rata pemuda masa kini ingin segera bisa hidup enak tapi dengan cara yang cepat dan mudah. Instan. Santai. Amat konsumtif. (Hormat untuk minoritas anak muda yang mau belajar atau bekerja keras dengan cara berjualan mi ayam, jadi buruh pabrik, PKL, TKI, dsb). Namun selebihnya seperti hanya menuruti jebakan kaum modal yang dulu sengaja menghadirkan musik ngak-ngik-ngok yang tidak disukai Bung Karno.

     Berbeda permasalahan di tahun 60an pemuda indonesia yang ketika itu di hantam dengan gelombang musik barat dengan The Beatels’nya namun bung karno bisa membendungnya dengan membuat istilah musik ngak ngik ngok untuk membentengi mental pemuda ketika itu, tetapi di massa 2012ini pemuda di manjakan dengan kebebasan akibatnya semua produk asing dapat secara bebas di nikmati dan di konsumsi termasuk dalam hal musik, musik yang ber’lebel musik K-Pop dengan ujung tombak Gril band dan Boy band’nya termasuk juga dengan sinetron  korea,nya dapat menghancur leburkan mentalitas dan karakter pemuda indonesia yang lebih suka beridentitas dan mengidentikan dirinya sebagai orang korea.
   
    Gaya hidup pragmatis, santai, dan amat konsumtif para pemuda sekarang bisa bisa dibuktikan dari berbagai hal. Misalnya, konsumsi rokok yang luar biasa besarnya sehingga bangsa ini menjadi bangsa perokok terbesar di dunia. Di kampus-kampus, kantin dan kafe lebih ramai daripada perpustakaan. Kebutuhan pulsa jauh mengalahkan kebutuhan akan buku.
Sebagian besar pemuda Indonesia punya prestasi rendah di bidang akademik. Juga di bidang olehraga. Sebaliknya, hasrat untuk mengonsumsi semua barang yang ditawarkan terutama melalui media TV sangatlah besar. Melalui semua media yang tersedia kaum modal telah berhasil mengubah masyarakat, terutama kaum muda, bukan hanya jadi manusia pragmatis dan konsumtif melainkan juga hidup dalam dunia sensasi. Kaum modal memang tahu, masyarakat yang sudah masuk perangkap sensasi sangat mudah menjadi pembeli barang yang mereka buat, baik barang itu benar-benar dibutuhkan atau hanya diinginkan.(*Dedi Setyawan 1014430027)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Total Tayangan Halaman

Sample text